Coba Anda renungkan baik-baik, mana dari dua pernyataan di atas yang Anda pilih? Interaksi saya dengan banyak orang menunjukkan bahwa jawaban yang paling banyak diminati adalah yang pertama: Bekerja untuk Hidup. Bukankah kita memang perlu bekerja agar dapat membiayai kehidupan kita? Bukankah kita tidak dapat hidup bila kita tidak bekerja mencari uang?
Lantas bagaimana dengan Hidup untuk bekerja? "Oh tidak", demikian yang mungkin akan dikatakan banyak orang. Kalau saya hidup untuk bekerja lantas bagaimana saya bisa menikmati hidup ini? Bukankah hidup sejatinya adalah untuk dinikmati? Bukankah bekerja hanyalah merupakan salah satu dari berbagai aspek yang ada dalam kehidupan? Bukankah bagian terindah dari kehidupan kita adalah berada bersama-sama dengan orang-orang yang kita cintai yang berarti jauh dari dunia kerja?
Sesungguhnya kedua pernyataan tersebut mewakili dua paradigma yang berbeda. Mereka yang menganut "Bekerja untuk hidup" melihat pekerjaan sebagai konsekuensi yang mau tak mau harus kita lakukan sebagai sebuah syarat terpenting agar kita bisa hidup.
Dengan demikian, pekerjaan itu sendiri sesungguhnya hanyalah sebuah cara untuk membiayai hidup. Kalau demikian halnya seandainya ada cara lain yang bisa kita lakukan untuk membiayai hidup -selain harus bersusah payah bekerja- maka cara itulah yang akan kita ambil.
Kalau demikian secara tersirat kita bisa mengatakan bahwa bekerja dalam hal ini telah menjadi semacam keharusan, menjadi sesuatu yang mau tak mau harus kita ambil agar bisa bertahan hidup.
Sekarang coba Anda renungkan paradigma yang kedua: Hidup untuk bekerja. Bukankah Anda hidup di dunia ini karena sebuah maksud? Bukankah Tuhan tidak pernah menciptakan kita dengan sia-sia?
Kalau Tuhan tidak menciptakan sesuatu secara sia-sia, kehadiran kita di dunia ini pastilah sudah dirancang dengan sedemikian rupa agar dapat memberikan makna yang sebanyak mungkin bagi manusia lain. Tugas kita bukanlah sekadar hidup melainkan membuat kehidupan.
Persoalannya, bagaimanakah caranya membuat kehidupan? Bagaimana cara kita membuat hidup kita bermanfaat? Cobalah Anda renungkan, bukankah tidak ada cara lain untuk membuat diri kita bermanfaat selain dengan bekerja dan melayani orang lain?
Kalau kita tidak bekerja, bagaimana mungkin kita bisa melayani orang lain? Kalau tidak melayani orang lain bagaimana kita bisa menjadi orang yang bermanfaat? Kalau kita tidak menjadi orang yang bermanfaat, mengapa kita harus hidup?
Lantas kalau Tuhan menciptakan kita untuk sebuah manfaat sementara kita sendiri tidak membuat diri kita bermanfaat bukankah ini berarti kita telah melawan kehendak Tuhan?
Bukankah ini berarti kita menyia-nyiakan potensi terbesar yang diberikan Tuhan kepada kita? Bila demikian, bukankah ini merupakan perbuatan orang yang tak tahu bersyukur dan berterima kasih?
Maka, bekerja sejatinya adalah alasan mengapa kita dilahirkan ke dunia ini. Dengan bekerja kita akan menemukan bakat, potensi dan jati diri kita yang terdalam. Dengan bekerja kita akan menemukan keunikan kita, sesuatu yang membedakan kita dari orang lain, sesuatu yang benar-benar khas kita, sesuatu yang menjadi alasan mengapa Tuhan "mengutus" kita ke dunia ini.
Keuntungan terbesar yang akan Anda dapatkan dengan bekerja sepenuh hati sesungguhnya bukanlah dalam bentuk materi dan uang melainkan dalam bentuk perasaan berharga, berguna, bermanfaat dan bermakna (meaningful).
Gagal bermakna
Perasaan bermakna ini sangat penting bagi kita. Semakin tinggi perasaan bermakna ini semakin tinggi pulalah kepuasan dan kebahagiaan kita sebagai manusia. Sebaliknya semakin rendah perasaan bermakna ini semakin mudahlah kita terjerumus ke dalam kesedihan, kekecewaan, perasaan tidak berarti dan akhirnya putus asa.
Banyaknya orang yang melakukan bunuh diri sesungguhnya merupakan indikasi dari hilangnya makna hidup dan perasaan berguna ini.
Bunuh diri sesungguhnya merupakan puncak dari perasaaan tidak bermakna ini. Karena selama orang masih merasa hidupnya bermakna dan bermanfaat, ia tak akan mau melakukan bunuh diri. Bunuh diri hanya dilakukan oleh orang-orang yang merasa dirinya gagal memberikan manfaat.
Yang menarik ketika kita bicara mengenai memberi manfaat, maka manfaat yang dimaksud pastilah manfaat bagi orang lain. Ketika berbicara mengenai bagaimana agar bermanfaat bagi orang lain sesungguhnya saya tidak sedang berbicara mengenai ajaran agama, tetapi mengenai konsep bisnis. Bukankah bisnis hanya bisa sukses -bahkan hanya bisa hidup- kalau bisnis tersebut bermanfaat bagi orang lain?
Kelahiran kita ke dunia ini sesungguhnya merupakan suatu nikmat yang luar biasa. Dalam hal ini kita berutang kepada dua pihak. Yang pertama adalah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Bukankah Tuhan telah memberikan kenikmatan yang luar biasa besar kepada kita secara gratis?
Bukankah kita tidak harus membayar apa pun kepadanya? Bahkan seandainya pun kita tidak bersyukur dan tidak percaya kepadanya Ia pun akan tetap memberikan yang terbaik bagi kita.
Hutang kedua adalah kepada orangtua kita masing-masing. Bukankah orangtua kita telah melayani kita sejak kita masih kecil, bahkan sampai kita dewasa sekarang ini? Bukankah orangtua kita senantiasa mendoakan keselamatan kita setiap saat?
Kedua utang ini tidak dapat kita bayar kepada mereka bagaimanapun caranya, karena itu yang bisa kita lakukan hanyalah meneruskannya kepada orang lain. Konsep ini disebut sebagai Pay it forward, bukan Pay it back.
Kita sudah dilayani secara luar biasa karena itu kita harus meneruskan kebaikan ini dengan cara melayani orang lain. Dengan demikian akan terciptalah spiral kebaikan yang tak akan terputus. Menciptakan kebaikan inilah esensi dari bisnis (baca: bekerja) dan inilah juga yang menjadi alasan mengapa kita berada di dunia ini. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar